jalur konvensional

.
..
JALUR KONVENSIONAL
.
Lengkingan Waker, suara brisik kendaraan di jalan, omelan orang tua atau pacar atau bayang – bayang tugas kerja dan kampus dan sebagainya terasa hilang dari sekeliling kita saat kita terbangun oleh belaian kabut dan angin, usapan mentari pagi dan kicau bawel sang burung, sejenak kita termanggu dan menyadari bahwa kita sedang tidak berada di tengah – tengah hiruk – pikuknya kota besar seperti pagi biasanya. Dingin mengigil, embun, sinar mentari pagi, kicau burung serta hamparan lekukan bumi yang hijau di Ranu Pane, adalah sepotong pembuktian bahwa kita sekarang sedang tidak berada dalam keruwetan sebuah peradaban kota yang secara jujur kita akui selalu menyesakkan dada dan mengaburkan mata dan hati kita.
.
Seluruh perasaan individu yang kemungkinan tidak jauh berbeda antara satu dengan lainya harus kita packing rapi bersama seluruh perlengkapan dan kebutuhan yang ada karena sarapan telah siap untuk dikunyah dan jalur antara Ranu Pane dan Ranu Kumbolo atau yang lebih dikenal dengan nama “Jalur Konvensional” telah siap menyuguhkan berbagai macam jawaban untuk seluruh pertanyaan yang ada di benak kita. Siapa yang brisik ? Siapa yang ngomel ? siapa yang tidur cepat atau yang tidak tidur sama sekali ? Siapa yang kedinginan ? Siapa dan apa tadi malam ? Yang gaip dan yang nyata, akhirnya sarapan usai dan packing akhir diselesaikan.
.
Berbekal beberapa panduan standard dan maupun spesifik dari Surya dan Teddy sebagai tuan rumah, 29 Oktober 2006, 08.35WIB, setelah berdo’a bersama yang do’a tersebut rata-rata kemungkinan sama “berikan kami kesehatan dan kekuatan, lindungi kami dari bencana dan bahaya, bukakan mata dan hati kami untuk menikmati segala nikmat yang Engkau berikan dan lain-lain”. Uye… ujo dengan hati riang dan ketiak belang - belang kita tinggalkan jejak dan areal perkemahan yang berada dibagian barat danau Ranu Pane dengan air kecoklatan dan masih tertutup embun disebagian permukaannya.
.
Udara masih sejuk saat kita menyelesaikan beberapa ratus meter akhir jalan aspal sebelum memasuki hutan tadah hujan dengan hamparan ladang sayuran masyarakan setempat dan ladang - ladang tersebut adalah areal perkebunan masyarakat terakhir yang akan kita jumpai sepanjang perjalanan berikutnya. Beberapa dari kita telah beberapa kali melintasi jalur ini, tetapi juga ada dari kita yang untuk pertama kali-nya. Sepintas awal jalur tersebut hampir sama dengan jalur - jalur lainya yang mewakili areal gunung vulkanik (tipe strato) di Indonesia. Kering dan berdebu.
.
Hanya beberapa menit dari pintu masuk saat selesai menebar pandangan ke ladang terakhir, seleksi alampun terjadi dan kita terbagi menjadi dua grup untuk sementara waktu. Dasar Patua, ketinggalan topi dilokasi terakhir buang hajat merupakan alasan yang sangat buruk untuk kembali serta memaksa Teddy dan Gaple bergabung dan tepisah jauh dari lima anggota tim lainnya. Mungkin…, tidak banyak dari kita yang menikmati indahnya suasana tropikal sepanjang jalur ini, mungkin kita belum sempat menikmatinya, mungkin kita sedang beradaptasi dengan beban yang terkonsentrasi di punggung, mungkin kita masih kaget dengan perubahan hari ini dengan beberapa hari sebelumnya, mungkin kita telah lupa bahwa kita tidak berada di Jakarta,
Surabaya, Malang ataupun kota-kota besar lainnya, tetapi kita sangat menikmati dan kita adalah beberapa orang pengguna O2 yang sangat boros.
.
Setelah sekitar empat punggungan terpisah, akhirnya Teddy, Gaple dan Patua berhasil menyusul lima anggota tim lainya, tepatnya di hadapan tanjakan sangat tegak yang menurut Surya dan Teddy merupakan “trek bonus/pemanasan” sepanjang lebih kurang 60 meter dengan kemiringan 55 drajat. Dalam kondisi normal trek tersebut tidak lebih seperti kita menaiki gedung tingkat empat dengan menggunakan tangga biasa, tetapi kita tidak sedang berada di Pondok Indah Mall, Tunjungan Plaza ataupun Malang Town Square. Adakah pilihan lain yang lebih baik selain kita harus menikmati belasan atau puluhan kilogram beban di punggung dan langkah – langkah lunglai kita menuju apa yang telah menjadi angan - angan kita ?
Ya…, Kita mungkin menikmati trek bonus tersebut dengan kepenatan dan kesempoyongan langkah kita, bersyukur ! Ya, kita harus bersyukur, karena kita telah beruntung diberi kesempatan melintasi trek tersebut saat kering dan berdebu, jika saat itu sedang hujan! Jalur tersebut akan berubah menjadi licin dan sangat lebih menyiksa kita. Apalagi kurangnya nikmat yang telah disediakan alam untuk kita ?
.
Penat ! Pegal ! Lunglai ! Itu semua merupakan bagian dari perjalanan, yang seharusnya tidak pernah terucapkan oleh kita, karena setiap orang akan merasakannya. Kenyataannya, kita adalah kumpulan manusia yang sangat sarat akan keberadaan kita yang serba lemah dan kurang, namun kita rasakan kebersamaan yang instant ini cenderung memotivasi kita untuk saling melengkapi dalam segala arti, Kita bukan mereka yang bercerita tentang Gandhi saat membelai rambut pacarnya, mereka yang mengagumi Norgay Tensing sementara kertas tisue selalu keluar dari jendela mobil mereka dan mengotori jalan atau mereka yang membenci Hittler tetapi menebang hutan demi buku tabungan, jika kita termasuk kedalam mereka, kini saatnya kita pindah ke alamat yang lebih baik.
.
Sementara langkah - langkah semakin melemah di punggung ke lima, kita tersentak, untuk pertama kalinya semenjak bertolak dari Malang, puncah Negeri di Awan “Mahameru” dengan bubungan tajug keperakan dan Wedus Gembel membentuk cendawan raksasa tersingkap dari selimut awan-nya. Adakah diantara kita yang seperkasa DIA ? Apakah kita bisa menyaingi semua mahakarya-NYA ? Jika Tidak ! Kita hanya berhak menikmati dan berkewajiban menjaganya.
.
Langkah demi langkah teruntai, tetes demi tetes keringat tercucur, pertanyaan demi pertanyaan terjawab, Ranu Kumbolo terbentang disisi kiri punggungan terakhir jalur Konvensional. Jika harus memilih, akan kita pilih untuk tidak mendekati Ranu Kumbolo agar kita selalu bisa menatap mahakarya tersebut. Mungkin hal tersebutlah yang sedang kita rasakan saat menuruni punggunan terakhir dan menyisiri sisi utara Ranu Kumbolo dari arah timur menuju ke barat sebagai tempat berkemah untuk malam kedua.
.
~
.